Trisno berbincang dengan para mahasiswa jurusan Geografi Universitas Indonesia (UI)
Bangun Desa tanpa Iuran, Didatangi Wisatawan Australia |
Keuletan Trisno mengembangkan Dusun Tanon menjadi desa wisata berbuah manis. Dusun tersebut bisa mandiri tanpa bantuan pemerintah. Prestasinya diganjar Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards Bidang Lingkungan dari PT Astra International Tbk (Astra).
PADA2009 silam menjadi awal bagi Trisno mengelola paket wisata outbond di Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Sejumlah wisatawan yang dibawanya saat itu dia pandu bermain flying fox. Peralatan flying fox sederhana dirancangnya sendiri menggunakan bahan lokal. Beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) saat itu membantunya memandu wisatawan.
Sementara warga dusunnya, hanya menjadi penonton. Mereka belum sadar potensi dusun tersebut. Semakin lama, wisatawan yang datang semakin banyak. Trisno yang mantan pemandu outbond di Solo tersebut mulai kewalahan. Mau tidak mau, lelaki berusia 34tahun itu melibatkan warga. ”Ada yang saya minta memandu permainan gobak sodor, egrang, maupun bentik,” ujar sarjana Psikologi lulusan UMS tersebut.
Selesai memandu, para warga dikumpulkan. Uang yang didapat dari kedatangan para pelancong pun dibagi. ”Mereka kaget, lho seperti ini kok bisa mendatangkan uang. Dari situ warga mulai tergerak,” kata suami Nuryanti, 35 ini.
Dari situlah Trisno yakin jika pariwisata menjadi pintu masuk yang tepat pemberdayaan masyarakat di dusunnya. Pengembangan desa wisata tersebut berproses selama 3 tahun hingga 2012. Selama itu, Trisno kerap diundang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Kabupaten Semarang untuk diajak sharing. Tangan dinginnya memoles desa wisata diharapkan mampu ditularkan ke desa-desa lainnya.
Pelan tapi pasti, Dusun Tanon semakin dikenal. Sejak beberapa tahun lalu, wilayah tersebut dikenal dengan nama Desa Menari. Julukan itu diambil dari berbagai kesenian tari yang dipentaskan warga kepada para wisatawan. Paket wisatanya semakin lengkap. Selain Paket Outbond Ndeso, ada Paket Pergelaran Seni yang mengajak pengunjung menikmati berbagai kesenian rakyat. Yang paling banyak di–request adalah Tari Topeng Ayu. Ada juga Tari Kuda Kiprah, dan Warok Kreasi. ”Kami juga menawarkan Paket Dolanan Tradisional yang mengajak wisatawan bermain gobak sodor, egrang, bentik, dan dakon,” katanya. Selain itu, masih ada Paket Wisata Pendidikan Luar Sekolah, Jelajah Lereng Telomoyo, Live in, dan Pasar Rakyat.
Kerja keras Trisno membuat Desa Menari bisa mandiri tanpa mengandalkan bantuan pemerintah. Pada 2015 ini dia meraih Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards Bidang Lingkungan dari PT Astra International Tbk (Astra). Trisno menjadi salah satu dari 7 penerima penghargaan tersebut dari seluruh Indonesia.
SATU Indonesia Awards merupakan penghargaan bagi anak bangsa yang tidak kenal lelah dan tanpa pamrih menggerakkan kemajuan masyarakat. Mereka generasi muda berprestasi yang memiliki semangat sejalan dengan nilai-nilai Astra sekaligus berkontribusi positif untuk lingkungan dan masyarakat sekitar.
Desa Menari berjarak 58 km dari Semarang, 59 km dari Solo, dan 76,8 km dari Jogjakarta. Berkat keberhasilan memberdayakan masyarakat, desa di lereng Gunung Telomoyo tersebut banyak menjadi jujukan untuk studi banding. Trisno yang akrab disapa kang Tris pihaknya kerap didatangi perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk belajar pengembangan klaster wisata. Di antaranya dari Wonosobo, Kudus, dan Jambi. Saat Jawa Pos Radar Semarang berkunjung, sejumlah mahasiswa Geografi Universitas Indonesia (UI) juga mendatangi Desa Menari untuk keperluan pembuatan tugas akhir.
Upaya Kang Tris menjadikan Tanon mandiri tanpa bantuan pemerintah tak semudah membalik telapak tangan. Lelaki kelahiran Ungaran, 12 Oktober 1981 itu bukannya tidak pernah gagal. Tahun 2006–2009, Trisno mencoba menjadikan peternakan sebagai pintu masuk pemberdayaan masyarakat. Saat itu, memang banyak warga memelihara sapi perah. Warga diajak memproduksi susu dan sabun dari susu sapi. ”Warga saya ajak studi banding ke Malang. Bahkan kami bisa magang di Fakultas Peternakan UGM (Universitas Gajah Mada),” katanya.
Namun hasil yang didapat dari peternakan tidaklah signifikan. Kendala ada pada mindset masyarakat. Trisno mengungkapkan, warga yang memelihara 5–10 ekor sapi kerap mengeluh kerepotan mencari pakan. Padahal di Pujon, Malang, satu keluarga sudah terbiasa merawat 10–20 ekor sapi. Dia mencoba mengatasi masalah tersebut dengan mengenalkan pakan fermentasi. Sehingga peternak tidak kerepotan mencari rumput setiap hari. Meski begitu, ajakannya tak dituruti warga. ”Mereka beranggapan ngene wae wis mlaku(begini saja sudah bisa jalan),” ucapnya.
Setelah upayanya tidak berhasil, Trisno merasa buntu. Dia sempat berpindah ke Solo menjadi pemandu outbond di sana. Hingga akhirnya dia membawa sejumlah kliennya untuk mencoba wisata outbond ndeso di Dusun Tanon. ”Saat kembali ke Tanon, saya sudah bertekad hidup saya harus bermanfaat bagi warga,” tandas Kang Tris yang kini sering diundang ke sejumlah kota menjadi narasumber workshop ini.
Hingga sekarang, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Menari ini tetap menyertakan potensi peternakan dalam pengembangan wisata. Dalam Paket Live In yang ditawarkan misalnya, wisatawan diajak mencari rumput, memberi makan sapi, dan memerah susu.
Sekretaris Forum Komunikasi Desa Wisata Kabupaten Semarang ini mengatakan saat pengembangan wisata dirintis, pihaknya juga bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat. Juga dengan Yoss Tour Community (YTC) dalam mendatangkan wisatawan. Kemudian dia juga gencar berpromosi sendiri melalui media sosial. Di antaranya lewat website www.desawisatatanon.com.
Kang Tris membutuhkan proses panjang hingga seluruh warga mau ikut ambil bagian dalam pengembangan wisata. ”Awalnya saya ajak mereka membangun desa tanpa iuran. Caranya dengan ngamen di kampung sendiri dan mendatangkan tamu ke sini,” paparnya. Saat itu, warga mementaskan tarian di halaman rumahnya. Fasilitas toilet bagi wisatawan juga belum ada.
Dikatakan Trisno, dirinya tidak kesulitan mementaskan kesenian daerah. Sebab warga Tanon merupakan pelestari berbagai tarian secara turun-temurun. ”Berbagai kelompok kesenian sudah eksis. Saya tinggal memoles saja,” imbuhnya. Warga juga senang dengan adanya Paket Pasar Rakyat. Sebab mereka bisa menjual langsung hasil pertanian kepada wisatawan.
Dia menceritakan, kepercayaan warga mulai tumbuh saat banyak wisatawan yang datang. Bahkan Desa Menari sudah 2 kali didatangi grup wisatawan dari Australia. Juga dari Perancis, Italia, Korea Selatan, dan Jepang. Namun wisatawan terbanyak datang dari komunitas siswa sekolah, ibu-ibu PKK, dan instansi pemerintah. ”Sebagian besar tahu dari getok tular. Ada juga yang tahu dari website,” paparnya.
Di dusun tersebut, seluruh warga terlibat dalam pengembangan wisata. Mulai siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga lansia. Hingga saat ini, Trisno terus membina warga untuk sadar wisata. Selain harus ramah kepada pengunjung, warga juga dibudidayakan tidak membuang sampah sembarangan. Trisno terus melakukan kaderisasi. Sebab dia sadar jika hanya dirinya sendiri yang bergerak, energinya tidak akan cukup. ”Saya bahkan mengajari cara memandu wisatawan. Yaitu dengan direkam, diperdengarkan kembali, dan dievaluasi,” kata Trisno yang memiliki 30 orang Tim Penggerak Pokdarwis dan melibatkan 114 warga ini.
Setiap Sabtu malam, sejumlah mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) juga mengajari anak-anak di desa tersebut berbahasa Inggris. Dengan begitu, diharapkan mereka memiliki kemampuan memandu wisatawan mancanegara.
Berkat kegigihan dirinya dan warga, kini Desa Menari bisa dikunjungi 300–500 wisatawan sebulan. Dia mengungkapkan sejak 2012 hingga Oktober 2015 lalu, pengunjung sudah tercatat 8.690 orang. ”Hingga sekarang, sudah ada uang sekitar Rp 250 juta yang berputar di dusun yang jarang tersentuh pembangunan pemerintah ini,” katanya.
Dana yang masuk dibagi untuk para pelaku wisata. Sisanya digunakan untuk pembangunan fisik dan memperbarui berbagai fasilitas. Di antaranya untuk mengecor jalan, membeli seperangkat gamelan, dan membuat pasar rakyat. ”Ada juga pengunjung yang berbaik hati membuatkan toilet,” ujarnya.
Trisno mengaku bangga memperoleh SATU Indonesia Awards Bidang Lingkungan. Saat presentasi di hadapan juri, dia memaparkan konsep pemberdayaan masyarakat yang dilakukannya. Dia terpilih menjadi pemenang karena menurut juri, apa yang dilakukannya mampu menggerakkan dan bermanfaat bagi masyarakat. Langkahnya juga bisa dijadikan inspirasi dan diduplikasikan di daerah lain. ”Dalam mengembangkan wisata, saya memakai teori mekar. Yaitu ada di satu titik namun semua lini tergarap,” tandasnya.
Hadiah SATU Indonesia Awards berupa uang senilai Rp 55 juta kini digunakan untuk membangun ruang pertemuan. Ruang tersebut akan difungsikan sebagai tempat meeting bagi wisatawan yang memilih Paket Wisata Live In.
Menurutnya banyak desa wisata lain yang potensinya lebih besar dari Tanon. Namun selain potensi wisata, yang tak kalah penting digarap adalah sumber daya manusia (SDM). Desa wisata tersebut juga harus memiliki paket yang menarik. ”Banyak perwakilan desa wisata yang marah-marah saat datang ke Tanon. Mereka bilang, kurang ajar, seperti ini kok laku,” ujarnya sambil tergelak.
Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto mengatakan SATU Indonesia merupakan salah satu program corporate social responsibility Astra Group. ”Ini merupakan langkah nyata dari Grup Astra untuk berperan aktif memberikan kontribusi meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui karsa, cipta dan karya terpadu untuk memberi nilai tambah bagi kemajuan Indonesia,” ujarnya saat gathering dengan sejumlah perwakilan media beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan, pada prinsipnya di mana pun instalasi Astra berada, harus memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya, sesuai dengan butir pertama filosofi Catur Dharma. Yaitu ”Menjadi Milik yang Bermanfaat bagi Bangsa dan Negara”. (*)
Tinggalkan Balasan