Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ikut memotong rambut anak gimbal di Candi Arjuna |
Tampilkan Budaya Berkemasan Kontemporer
Jika ada event budaya dan pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal serta sukses digelar, Dieng Culture Festival (DCF) adalah salah satunya. Dihelat 5-7 Agustus 2016 lalu, Dieng Culture Festival VII tetap fenomenal. Sebanyak 3.500 paket wisata ludes terjual. Ratusan homestay yang dikelola warga di dataran tinggi Dieng juga sudah penuh dipesan sejak 2-3 bulan sebelum acara. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinbudpar) Jawa Tengah memperkirakan jumlah total pengunjung mencapai 100 ribu orang.
Mengusung tagline The Soul of Culture, DCF tetap memakai konsep sinergi antara unsur budaya, potensi wisata alam Dieng, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Meski sudah kali ketujuh digelar, event tersebut tetap mampu menarik ribuan wisatawan, termasuk dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
“Dieng Culture Festival adalah salah satu event yang menariknya dikembangkan komunitas. Peran pemerintah hanyalah memfasilitasi. Sementara ide hingga pelaksanaan, hingga penjualan paket dilakukan komunitas,” kata Kepala Dinbudpar Jawa Tengah Prasetyo Aribowo.
Dia mencontohkan, pemerintah pusat memberi dukungan dengan meminjamkan kereta kencana untuk prosesi arak-arakan Ruwat Rambut Gembel. Sementara Pemprov Jateng membantu promosi dan goodie bag bagi pengunjung. “Ini contoh sinergi yang baik antara pemerintah dan komunitas,” kata Prasetyo yang ikut menghadiri DCF VII.
Daya tarik utama DCF adalah Prosesi Ruwat Rambut Gimbal di kompleks Candi Arjuna, Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Tahun ini, ada 11 anak berambut gembel yang menjalani prosesi pemotongan. Mereka dipercaya sebagai titisan Kiai Kolodete yang menjadi pembuka wilayah Dieng.
Serunya melepas lampion di tengah pentas Jazz Atas Awan |
Selain itu, yang menarik minat anak muda adalah Jazz Atas Awan di lokasi yang sama. Pentas musik di venue bersuhu 2-4 derajat celcius itu menghadirkan kejutan dengan tampilnya penyanyi Anji dan Mus Mujiono. Yang tak kalah ditunggu adalah penerbangan serentak ribuan lampion oleh para penonton Jazz Atas Awan.
Acara lainnya diantaranya Maiyahan Cak Nun dan Kiai Kanjeng, pentas wayang kulit, hingga sunrise tracking. Prasetyo mengatakan DCF menjadi menarik karena menyuguhkan budaya yang ada dengan kemasan kontemporer. Penyelenggara mengaitkan musik, jazz dengan kata unik, Jazz Atas Awan yang berkesan berbeda dengan pentas jazz lainnya. Yaitu digelar di tempat yang jauh, terpencil, dan bersuhu dingin. “Konsep unik mampu membuat ribuan pengunjung datang. Penyelenggara juga menggabungkan promosi konvensional dan medsos sehingga bisa viral,” tandasnya.
Dikatakannya, konsep event tersebut bisa saja diterapkan di daerah lain. Namun semua bergantung kepada masyarakat dan komunitas setempat. “Syaratnya komunitas harus punya jaringan. Prinsipnya pemerintah terbuka untuk inovasi seperti ini,” kata dia.
Brrrr…nonton jazz dengan suhu 4 derajat Celcius |
Tak hanya menyaksikan agenda acara yang ada, para pengunjung juga menyempatkan diri berwisata ke sejumlah destinasi andalan di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Diantaranya ke Candi Gatotkaca, Kawah Sikidang, Telaga Warna, Telaga Merdada, Puncak Sikunir, Gunung Prau, hingga Bukit Scooter. Mereka juga mencicipi kuliner khas Dieng seperti Mie Ongklok, Tempe Kemul, dan Carica.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang ikut memotong rambut gimbal mengatakan prosesi ruwatan tersebut tergolong langka dan hanya ada di Dieng. “Terimakasih bagi yang sudah membeli tiket. Nikmati sajian yang ada. Ini bagian dari cara orang Jawa Tengah membahagiakan anda semua,” paparnya. Dia juga berharap seluruh pengunjung menuliskan pengalaman menikmati DCF di media sosial. “Tulis di sosmed sehingga ada cerita yang dibawa dari sini,” imbuhnya. (*)
Tinggalkan Balasan